Selasa, 24 April 2012

Sekolah : Ajang Pamer Kekayaan


Sekolah yang dulu  kita kenal adalah tempat menimba ilmu, tempat untuk belajar  bersosialisasi dengan teman sekelas, kakak kelas, maupun adik kelas, dan juga tempat untuk melatih kedisiplinan. Tapi saat ini sekolah sudah multifungsi.  Tak hanya sebagai ruang belajar, tapi juga sebagai ajang pamer kekayaan.
Pada tahun 2001 saya lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan hendak melanjutkan ke sebuah SLTA Negeri yang cukup bonafid keberadaannya. Sekolah unggulan di kawasan Jakarta Timur. Alhamdulillah NEM saya lebih dari cukup untuk standart masuk ke sekolah itu. Hari pertama saya masuk untuk melakukan kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS),  kebetulan saya dan beberapa teman dari SLTP yang sama ternyata mendapat kelas yang berbeda. Otomatis saya harus berbar dengan teman – teman baru yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Dalam satu kelas tedapat 45 orang anak. Dimana satu dan lainnya memiliki perbedaan penampilan yang sangat kentara. Baik dari segi kepintaran maupun penampilan.
Seminggu saya menjadi murid disana, dengan mudahnya saya melihat ada gap – gap. Antara murid yang notabene berasal dari keluarga sederhana dan murid yang berasal dari keluarga kaya.
Sebut saja Icha, ia berasal dari SLTP yang juga unggulan. Wajahnya tidak terlalu cantik tapi semua mampu ditutupinya dengan penampilannya. Tas, dan sepatu yang Icha pakai selalu branded. Belum lagi handphone terbaru saat itu (Nokia 8310) sudah ada di genggamannya. Icha selalu diantar mamanya dengan mobil mewah.  Dan sangat berbeda dengan murid lain yang lebih senang naik angkot bersama dengan yang lain sampai masuk gerbang sekolah. Tapi disini point pentingnya adalah, Icha hanya mau berteman dengan mereka yang selevel dengannya. Lalu mereka membuat sebuah gank yang memang selalu berusaha menonjol di antara murid lainnya. Icha akan menegur orang di luar gank-nya hanya jika ada keperluan. Seperti menanyakan tugas, jadwal ekskul dan lain – lain. Terkadang Icha juga suka menyontek pekerjaan rumah dari teman yang pintar dengan iming – iming traktiran jajan saat jam istirahat.
Kadang saat di kantin sekolah, Icha dan gank-nya kerap berkumpul lalu memperhatikan dengan sinis murid yang lain karena penampilannya yang tidak semodis dan se-elegant mereka.
Itu baru kejadian di awal saat kami ada di kelas 1 dan 2, belum lagi saat kami naik ke kelas 3. masing – masing dari mereka sudah dengan bebasnya mengendarai mobil pribadi. Padahal dilihat dari usia saat itu, SIM pun mereka belum punya.
Tapi diantara teman – teman se gank Icha ada 1-2 orang yang memang tidak kaya namun mereka mencoba masuk ke lingkungan Icha tapi memaksakan kondisi keuangan orangtuanya. Seperti ikut – ikutan membeli tas atau sepatu branded agar tak kalah pamor dengan si ketua gank.
Ini bukan hanya di sinetron, tapi memang benar - benar terjadi. Terutama di sekolah – sekolah ternama ataupun unggulan.
Sebenarnya itu adalah hak asasi, jika keuangan mereka memang layak untuk melakukan itu ya silahkan saja. Tapi coba sedikit menilik bagaimana efeknya bagi mereka yang kurang mampu. Karena ada pula beberapa murid yang berhasil masuk kesana karena beasiswa dari sekolah terdahulu. Dimana ia harus dengan susah payah mempertahankan nilainya agar beasiswa untuk masuk ke sekolah unggulan bisa mereka dapatkan.
Disini kesenjangan sosial sangat jelas terasa. Dimana yang kaya (walaupun harta orangtua) bisa dengan bebasnya show up ke teman – temannya yang lain. Sementara yang sederhana atau bahkan kurang mampu semakin tersudut dengan kondisi yang ada. Pihak sekolahpun rasanya kurang bijak dalam mengatasi masalah kesenjangan ini. Mereka seakan tak peduli.
Mungkin untuk pihak sekolah yang terpenting adalah belajar dan belajar. Tapi kondisi mental siswa kan tidak semuanya sama. Ada yang terbiasa menghadapi situasi ini, ada pula yang mudah shock dan mungkin menjadi terbawa arus karenanya.
Jadi saran saya, sebaiknya pihak sekolah membatasi eksploitasi penampilan siswa di sekolah. Ciptakan kondisi belajar yang nyaman untuk semua. Bagaimanapun kondisi ekonomi mereka, sekolah jelas memiliki wewenang untuk mengatur semua. Tata tertib jangan hanya di titik beratkan pada jam masuk yang harus tepat waktu. Sementara penghuni di dalam sekolah seperti mall berjalan. Kembalilah pada artian sekolah yang sebenarnya, tempat menimba ilmu, guna menyiapkan diri untuk meraih cita – cita setinggi langit.

Tidak ada komentar: